SOSIOLOGI HUKUM
HUBUNGAN BUDAYA
DAN NORMA SOSIAL TERHADAP TINDAKAN KORUPSI ALAT PERLENGKAPAN NEGARA
Dosen Pengampu: Dr. Anis Farida SE., SH., MH.,
Oleh:
Afiyah : 13300004
Ketut
octania Fineta Diarsa : 13300011
Lailatul
Maghfirah : 13300012
Steven
Frado Anggara :
13300013
Sendi
Ariyanto : 13300016
Muhammad Sahri Ramadhan : 13300047
KELAS A
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut studi
Transparency International tahun 2013, Indonesia
berada di peringkat 114 dari 177 negara dunia dalam hal negara dengan kasus korupsi
terbanyak. Korupsi ini seolah sudah melekat dan menjadi budaya bahkan seolah
sudah menjadi sebuah’profesi’ di negara ini. Banyak kasus korupsi yang justru
dilakukan oleh wakil rakyat yang seharusnya mewakili suara rakyat. Rakyat
seolah belajar melalui pengamatan
dan pengalaman selama ini, bahwa wakil mereka di pemerintahan mempunyai
kecenderungan untuk melakukan korupsi setelah mempunyai jabatan dan kesempatan
di pemerintahan. Ditambah dengan kenyataan bahwa pemerintah seolah tidak
mempunyai ‘power’ untuk membereskan masalah korupsi ini. Tentunya anggapan ini
membuat persepsi negatif terhadap wakil rakyat dan pemerintah, dimana persepsi
ini tidak dapat digeneralisasikan.
Satu dekade ini telah
ada keberanian dan tindakan nyata pemerintah yang dilaksanakan oleh KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) untuk mengungkap kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia, terutama yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara.
Satu kasus yang layak diangkat atas ketegasan pemerintah adalah kasus Angie
berdasarkan laporan Merdeka.com, dimana Mahkamah Agung memperberat
hukuman Angelina
Patricia Pingkan Sondakh menjadi 12 tahun penjara.
Padahal sebelumnya, di Pengadilan Tipikor Angie hanya divonis 4 tahun 6 bulan,
begitu pun di Pengadilan Tinggi.
Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad,
mengapresiasi putusan yang diputus majelis hakim Hakim Artidjo Alkostar, MS
Lumme dan Mohammad Askin. Menurutnya, penambahan masa tahanan itu cukup
memberikan efek jera.
Gubernur Aceh non-aktif Abdullah Puteh, yang menjadi terdakwa kasus
pembelian helikopter Mi-2 Rostov buatan Rusia,
dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, dalam persidangan Senin (11/4). Putusan yang diambil kendati Puteh
tidak hadir dalam persidangan ini dua tahun lebih tinggi dari tuntutan Jaksa
Penuntut Umum (JPU).
Selain hukuman 10 tahun penjara, Puteh juga diharuskan membayar denda Rp
500 juta dan hukuman subsider enam
bulan penjara.
Menurut majelis hakim yang terdiri dari Kresna Menon (Ketua), Dudu Duswara,
Ahmad Linoh, I Made Hendra Kusuma dan Gus Rizal
(hakim anggota), Abdullah Puteh secara sah dan meyakinkan telah bersalah
sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Puteh juga
bersalah karena telah melakukan penunjukan langsung perusahaan pengadaan heli
tanpa tender. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Keputusan Presiden No 18
tahun 2000. Dalam Keppres itu, Penunjukan Langsung bisa dilakukan jika untuk
pengdaaan barang dengan harga di atas Rp 50 miliar. Itu pun, yang melakukan
pengadaan barang adalah kepala kantor atau pihak setara yang ditunjuk, bukan
gubernur atau kepala daerah.
Selain
bersalah karena melakukan PL, mantan ketua KNPI itu juga diputuskan bersalah
karena memindahkan dana dari APBD ke rekening pribadi senilai Rp 7,75 miliar.
Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar
Peraturan Pemerintah No 105 tahun 2000 mengenai pengelolaan keuangan daerah.
Majelis hakim menilai, tindakan ini adalah untuk memperkaya diri. Dalam
persidangan yang tidak dihadiri terdakwa itu, majelis hakim juga memutuskan,
alasan pengadaan heli dalam kondisi darurat dan mendesak, tidak terpenuhi.
Pasalnya, kata majelis hakim, pengadaan heli berlangsung lama dari tanggal 25 Agustus
2001 hingga 23 Februari 2004. Alasan lainnya, mendesak tidaknya sesuatu hal
dalam penyelenggaraan pemerintahan, harus ditentukan oleh pemerintah pusat,
bukan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, tidak terpenuhinya unsur mendesak
dalam kasus ini, karena DPRD Aceh sendiri menunda-nunda pemberina izin prinsip
pengadaan heli ini. Di persidangan ini juga terungkap, bahwa Abdullah Puteh
telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Pasalnya, dari
bukti-bukti yang dihadirkan ke pengadilan, dana yang diterima perusahaan Putra
Pobiagan Mandiri (PPM) sebesar Rp 10,875 miliar. Namun, berdasarkan bukti transfer bank dari PPM ke
perusahaan penyedia heli di Rusia, terungkap PPM hanya mentransfer Rp 6,4
miliar. Akibatnya, masih tersisa dana sebesar Rp 3,6875 miliar pada PT PPM.
Kasus korupsi salah satunya seperti
yang terjadi di atas, yang dilakukan alat perlengkapan negara dilakukan secara kolektif, struktural, dan
sistemis. Sehingga secara tidak langsung korupsi lambat laun menjadi sebuah
budaya. Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara
Indonesia.
Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika
hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau. ”2 Sifat partai politik di
Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik
yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi
politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan
strategis sebagai donasi terhadap partai.
Untuk
mengantisipasi hal tersebut pemerintah merumuskan UU Anti Korupsi yang terdiri
dari empat unsur penting, yaitu unsur penyalahgunaan wewenang, unsur
memperkaya diri sendiri atau korporasi, unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum. Dimana dalam aliran sociological
jurisprudence menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dalam penegakan
hukum hendaknya selain memperhatikan aspek hukumnya juga melihat aspek sosial,
sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat bagi orang banyak.
Alasa ini membuat korupsi diaanggap sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena
yang melakukan kejahatan korupsi adalah segolongan orang-orang tertentu tetapi
dampaknya besar dan merugikan orang banyak. Fenomena korupsi telah
merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan belaskasih
di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan manusia Indonesia
yang easy going, apatisme terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya
rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk
korupsi.
Kenyataan
bahwa dalam penegakan hukum hendaknya
pula memperhatikan aspek sosial maka kasus korupsi ini dianggap menarik
untuk dipotret dari kacamata sosiologi hukum
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diungkapkan di bab
sebelumnya maka dapat ditarik suatu perumusan masalah yang akan dianalisa
selanjutnya, sebagai berikut:
1.
Faktor penyebab terjadinya korupsi
secara kolektif yang dilakukan alat perlengkapan Negara
2.
Hubungan antara faktor kebudayaan
dengan korupsi
3.
Pencegahan dan pemberantasan
korupsi
4.
Hubungan Supremasi UU Korupsi dan
norma sosial masyarakat terhadap pelaku korupsi
BAB III
KERANGKA
TEORITIK
A.
Definisi
Korupsi
I.
Pengertian Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya.
Dari
segi hukum korupsi mempunyai arti ;
a.
Melawan hukum
b. Menyakahgunakan
kekuasaan
c. Memperkaya
diri
d. Merugikan
keuangan Negara Menurut perspektif hukum
pengertian
korupsi secara gambling dijelaskan dalam UU No 31 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana.
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
1.
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan
keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau
diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan
Negara (Pasal 2);
2.
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara
atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3.
Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387,
388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Normatif
Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20
tahun 2001,maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi
Aktif dan Korupsi Pasif.
Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
·
Secara melawan hukum memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
·
Dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan
kewenangan,kesempatan atau dapat merugikan keuangan Negara,atau perekonomian
Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
·
Memberi hadiah Kepada Pegawai
Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
·
Percobaan pembantuan,atau
pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001)
·
Memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
(Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·
Memberi sesuatu kepada pegawai
negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001)
·
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
·
Pemborong,ahli bangunan yang pada
waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan bangunan,melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal (1) huruf
a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·
Setiap orang yang bertugas
mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·
Setiap orang yang pada waktu
menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian negara
Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001)
·
Setiap orang yang bertugas
mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional indpnesia atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja mebiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001)
·
Pegawai negeri atau selain pegawai
negeri yyang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus
atau untuk sementara waktu,dengan sengaja menggelapkan uang atau mebiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20
tahun 2001)
·
Pegawai negeri atau selain Pegawai
Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau sementara waktu,dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus
pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
·
Pegawai negeri atau orang selain
Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara
terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan
menghancurkan,merusakkan,atau mebuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat atau
daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang yang dikuasai karena jabatannya atau membiarkan orang lain
menghilangkan,menghancurkan,merusakkan,attau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 tahun
2001)
·
Pegawai negeri atau
Penyelenggara Negara yang :
Dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran
dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal 12 e
undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
Pada waktu menjalankan tugas
meminta,menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai Negeri atau
Penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai hutang
kepadanya.padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mrupakan hutang (huruf f)
Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan
barang seplah-olah merupakan hutang pada dirinya,padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan hutang (huruf g)
Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang berhak,apadahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang berhak,apadahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
·
Memberi hadiah kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan itu (Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :
·
Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat
(2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·
Hakim atau advokat yang menerima
pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi nasihat atau pendapat yang
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili
(Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun 2001)
·
Orang yang menerima penyerahan
bahan atau keparluan tentara nasional indonesia, atau kepolisisan negara
republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
·
Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan utnuk mengerakkan
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya,atau sebaga akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya (pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
·
Hakim yang enerima hadiah atau
janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
·
Advokat yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga,bahwa hadiah atau janji itu diberikan
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d
Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
·
Setiap pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (pasal 12
Undang-undang nomor 20 tahun 2001).
Adapun pengertian lain tentang korupsi dirumuskan
olehRobert Klitgaard. Klitgaard merumuskan bahwa korupsi terjadi karena
kekuasaan dan kewenangan tidak diimbangi dengan akuntabilitas (pertanggung
jawaban), sehingga dapat dirumuskan: C = M + D – A
Corruption = Monopoli + Diskresi –
Akuntabilitas
II. Jenis Korupsi
Ketua KPK membedakan korupsi atas dua jenis, korupsi karena
kebutuhan ( need corruption ) dan
korupsi karena kerakusan ( greedy corruption ). Korupsi yang pertama terjadi terutama
karena sistem yang kurang baik, misalnya, sistem pegawai negeri sipil (PNS),
terutama sistem penggajian pegawai negeri sipil yang sangat rendah.
Korupsi ini diberantas dengan tindakan perbaikan
sistem PNS itu sendiri.
Sementara, korupsi golongan kedua lebih banyak
disebabkan karena ketamakan dan mental yang rusak. Ini harus diperbaiki dengan
upaya penindakan, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak
Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam
situasi yang mengkhianati kepercayaan. Kemudian korupsi dibagi menjadi tujuh
macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif,
otogenik dan dukungan.
1.
Korupsi transaktif
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal-balik antara
pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara
aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi
yang memeras
Pemerasan adalah korupsi dimana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang
suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingan atau
sesuatu yang mengancamnya.
3. Korupsi
Defensif
Orang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan
terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemersan jadi
korupsinya dalam rangka mempertahankan diri)
4. Korupsi
Investif
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang masih di angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh dimasa mendatang.
5. Korupsi
Perkerabatan atau Nepotisme
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah kepada sanak
keluarga atau teman dekat untuk mendapatkan jabatan dalam pemerintahan, imbalan
yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang,
fasilitas khusus dan sebagainya
6. Korupsi
Otogenik
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain,dan pelakunya hanya satu
orang saja
7. Korupsi
Dukungan
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang
sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.
III.
Penyebab terjadinya korupsi
Menurut Boni Hargen, yang membagi penyebab terjadinya korupsi menjadi tiga wilayah yaitu :
1.
Wilayah Individu, dikenal sebagai aspek manusia yang menyangkut moralitas
personal serta kondisi situasional seperti peluang terjadinya korupsi termasuk
di dalamnya adalah faktor kemiskinan.
2.
Wilayah Sistem, dikenal sebagai aspek institusi/administrasi. Korupsi
dianggap sebagai konsekuensi dari kerja sistem yang tidak efektif. Mekanisme
kontrol yang lemah dan kerapuhan sebuah sistem member peluang terjadinya
korupsi.
3.
Wilayah Irisan antara Individu dan Sistem, dikenal
dengan aspek sosial budaya, yang meliputi hubungan antara politisi, unsur pemerintah dan
organisasi non pemerintah. Selain itu meliputi juga kultur masyarakat yang
cenderung permisif dan kurang perduli dengan hal-hal yang tidak terpuji. Di
samping itu terjadinya pergeseran nilai, logika, sosial, dan ekonomi yang ada
dalam masyarakat.
Menurut Soejono Karni, beberapa dampak korupsi
adalah rusaknya sistem tatanan masyarakat; ekonomi biaya tinggi dan sulit
melakukan efisiensi; munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat;
penderitaan sebagian besar masyarakat di sektor ekonomi, administrasi, politik
maupun hukum; yang pada akhirnya menimbulkan sikap frustasi, ketidakpercayaan,
apatis terhadap pemerintah yang berdampak kontraproduktif terhadap pembangunan.
IV. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum
Berdasarkan
teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau
tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor.Pertama; faktor
hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum,
yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga;faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor
masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.Kelima; faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Sehingga agar hukum tersebut berjalan efektif yang harus dilihat adalah
hukum itu sendiri, dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Menurut Friedman dalam Soerjono Soekanto,
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut:
a.
Faktor Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang ada
dalam sistem. Substansi juga berarti produk yang berupa keputusan atau aturan
(peraturan perundang-undangan) yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada
dalam sistem tersebut.
b.
Faktor Struktur Hukum
Struktur hukum meliputi: struktur institusi penegak hukum (kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan) termasuk aparat-aparatnya (polisi, jaksa, dan
hakim), dan hierarki lembaga peradilan yang bermuara pada Mahkamah Agung.
c. Faktor
Budaya Hukum
Kebudayaan Hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai
yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsep abstrak
mengenai apa yang baik dan buruk. Faktor ini sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat. Anggapan masyarakat
bahwa hukum identik dengan penegak hukum mengakibatkan harapan-harapan yang
tertuju pada peran penegak hukum menjadi semakin bias. Kegagalan dalam
penegakan hukum akan selalu dikembalikan dan senantiasa dikaitkan dengan pola
dan perilaku penegak hukum yang merupakan pencerminan dari hukum sebagai
struktur maupun proses.
Sedangkan menurut Soekanto dan Abdullah,
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap hukum, antara lain
sebagai berikut:
a.
Faktor penyesuaian diri terhadap kaedah-kaedah
hukum. Dalam hal ini seseorang patuh terhadap hukum karena ingin mengharapkan
suatu imbalan tertentu atau sebagai
usaha untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan terkena sanksi apabila
norma tersebut dilanggar.
b.
Faktor identifikasi, artinya seseorang mematuhi
hukum bukan karena nilai yang sesungguhnya dari kaedah hukum tersebut, akan
tetapi karena ingin memelihara hubungan dengan orang lain yang sekelompok atau
dengan pimpinan kelompok lain.
c.
Faktor kepentingan, artinya bahwa seseorang
mematuhi hukum karena merasa bahwa kepentingan-kepentingannya telah terpenuhi
atau setidak-tidaknya terlindungi oleh hukum.
d.
Faktor penjiwaan, artinya bahwa seseorang
mematuhi hukum karena kaedah hukum tersebut ternyata sesuai dengan nilai-nilai
yang menjadi pegangan warga masyarakat. Orang yang berada pada faktor ini
mematuhi hukum karena memang orang tersebut mengerti bahwa dalam mengatur
kehidupan diperlukan seperangkat kaedah yang menjadi pedoman dalam mengatur
kehidupannya, sehingga orang tersebut menjiwai dan menempatkan hukum dalam
posisi yang penting dalam kehidupannya.
B.
Definisi
Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Sebagai akibat perkembangan dan struktur feodalisme pada jaman kependudukan
Belanda di Indonesia, maka kejahatan yang timbul di antara penguasa adalah
penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan kebodohan
penduduk. Ketika itu, penghasilan dari para Bupati dan pimpinan feodal lainnya
dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitu:
1. Gaji tetap bulanan.
2.
Sejumlah uang yang tetap untuk
ganti kerugian akibat hak-hak yang beralih kepada pemerintahan Belanda.
3.
Upah yang seimbang dengan hasil
ekspor yang dihasilkan dalam daerahnya.
4.
Penghasilan yang dia tentukan
sendiri besarnya dari penghisapan harta benda dan tenaga dari rakyat.
Kebiasaan
yang kemudian menjadi budaya untuk menyenangkan hati atasannya tercermin dalam
praktek gratifikasi pemberian upeti atau persembahan dari bawahan kepada atasan
atau dari hamba kepada tuannya tersebut memang sudah menjadi suatu budaya yang
sampai saat ini hal itu masih terus terjadi di negara yang sudah lebih modern
dan dengan sistem birokrasi yang lebih modern juga.
C. UU Korupsi
Di Indonesia telah ada, undang-undang tentang tindak pidana korupsi yang
sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan, yakni :
1.
Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
2.
Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
3.
Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
4.
Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang
nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
Terhadap Orang
yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1. Pidana
Mati
Dapat dipidana
mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam
keadaan tertentu.
2.
Pidana Penjara
Pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
a. Pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal
3)
b. Pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan
sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak
langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap
tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
c. Pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
Pidana Tambahan
1. Perampasan barang
bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang
digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula
dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
2. Pembayaran uang pengganti
yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
3. Penutupan seluruh atau
sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
4. Pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
5. Jika terpidana tidak
membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat
disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
6. Dalam hal terpidana tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka
terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum
dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo
undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan
maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural
ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana
korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi
dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang
baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan
pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan
supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula
memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana
dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan
surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus
atau ditempat pengurus berkantor.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
adalah
1.
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
2.
Perbuatan melawan hukum;
3.
Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
4.
Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena
jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain.
BAB IV
ANALISA
Budaya, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tindak pidana korupsi.
Sehingga ada pihak yang mengatakan bahwa tindakan korupsi
merupakan sebuah budaya dan sebaliknya. Namun perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman kebudayaan yang
berbeda-beda pula. Korupsi bisa di lihat sebagai sebuah kebudayaan jika
kebudayaan memiliki diartikan sebagai sebuah tingkah laku yang terus diwariskan
dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara dalam
masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok yang besar seperti seperti
bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, korupsi di satu pihak bukanlah sebuah
kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan.
Hal ini karena pengaruh jaman feodalisme dan
anggapan memberi untuk menyenangkan atasan adalah hal biasa. Terlukis seperti
jaman kerajaan dengan adanya pemberian upeti. Selain itu prinsip yang dipegang
para alat negara adalah menjabat untuk kemudian mengembalikan semua ‘modal’
saat berkampanye serta menjadi donatur bagi Partainya seolah dilegitimasi oleh
keadaan sistem budaya.
Sesuai dengan pendapat Koenjtoroningrat
tentang kebudayaan maka budaya ini merupakan hasil kreasi manusia yang akhirnya
memunculkan karya dan terus akan dievaluasi oleh perkembangan waktu dan
pengetahuan. Hal inilah yang belum dilakukan oleh bangsa ini untuk merubah
hasil kreasinya yang bernilai negatif yaitu korupsi.
Berkembang luasnya praktik korupsi di alat
perlengkapan negara dikarenakan adanya kekuasaan dan kesempatan serta
kesepakatan bersama, yang melahirkan korupsi kolektif. Dalam sebuah lembaga
yang sudah membudaya praktek korupsinya dan terdapat satu orang yang menolak
melakukannya maka dia akan dianggap yang salah dan akan dikucilkan dari
kelompoknya.
Tindakan ini dilar belakangi berbagai penyebab diantaranya adalah:
a.
Kelemahan pemimpin untuk mencegah dan memberikan
ketauladanan yang baik. b. Kelemahan pengajaran agama dan etika. c. Budaya kolonialisme yang mendarah daging dan terpatri dalam benak dan
perilaku masyarakat kita. Budaya kolonial yang cenderung mempraktikkan hegemoni
dan dominasi, menjadikan orang Indonesia juga tega menindas bangsanya sendiri
lewat perilaku korupsi.
b.
Tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan
memberatkan. Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap
tindak korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. e. Struktur pemerintahan yang justru menumbuhkan
lingkungan subur untuk korupsi. Birokrasi yang sentralistik dan banyak menterderkan
proyek pembangunan.
Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan
hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, perlu dilakukan beberapa
pencegahannya:
1.
Menegakkan hukum secara
konsisten sesuai peraturan perundang-undangannya.
2.
Memperbaiki birokrasi
yang efisien
3.
Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen
tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan
sistematis.
4.
Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik
dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga tidak ada kesempatan
untuk korupsi.
5.
Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak
menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam
menangani kasus korupsi.
Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Di dalam
Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi
periode jangka panjang (2012-2025) adalah: “terwujudnya kehidupan bangsa yang
bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang berintegritas”. Adapun
untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi “terwujudnya tata kepemerintahan yang
bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta
nilai budaya yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan menengah itu akan
diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat
sipil, hingga dunia usaha. Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang 6
strategi yaitu :
Pencegahan. Korupsi
masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung
dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari.
Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai
strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah
berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini
merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif.
Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan
praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan
diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang
hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index
dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh
World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang
diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
Penegakan Hukum. Masih banyak
kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah
tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil
dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan
prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan
(trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat
kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak
lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung
menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang,
celakanya, acap berseberangan dengan hukum. Belum lagi jika ada pihak-pihak
lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya
sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah
masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap
lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya
perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan
menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang
menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan
strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang
diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan
hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor
hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks
Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan
semakin baik. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi UNCAC,
adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat
pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC
harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia.
Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi
lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi
ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam
strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase
kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin
mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan
dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan common
practice yang terdapat pada negara-negara lain. Kerjasama Internasional dan
Penyelamatan Aset Hasil Tipikor. Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil
tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme
pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC.
Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari
putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap
perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus
korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu
didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar
kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara
optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset
hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase
tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan
permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal
Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke
kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang
tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik. Pendidikan dan Budaya
Antikorupsi. Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad
kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya,
bisa berupa upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara
kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan
internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun swasta. Dengan
kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi
itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong
terwujudnya tata-kepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan
prakarsa-prakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan
tata-kepemerintahan pada umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur
berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang ada dikalangan tata-kepemerintahan
maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka
diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam
perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.
Mekanisme
Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi. Strategi yang mengedepankan
penguatan mekanisme di internal Kementerian/Lembaga, swasta, dan masyarakat,
tentu akan memperlancar aliran data/informasi terkait progres pelaksanaan
ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik
elektronik maupun cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan
dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK.
Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para pemangku
kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap upaya yang dilakukan oleh
pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta. Keberhasilannya diukur
berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap laporan PPK.
Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka harapannya, semua
kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan kebijakan dan
penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal
secara berkesinambungan dan tepat sasara
Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan antara lain:
1.
Menegakkan hukum secara
konsisten sesuai peraturan perundang-undangannya.
2.
Memperbaiki birokrasi
yang efisien
3.
Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen
tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan
sistematis.
4.
Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik
dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga tidak ada kesempatan
untuk korupsi.
5.
Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak
menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam
menangani kasus korupsi.
KESIMPULAN
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk merubah suatu tindakan yang dapat
dikatakan mempunyai faktor budaya, dibutuhkan suatu kekuatan dan kerjasama yang
menyeluruh dan keinginan untuk berubah. Korupsi dapat dikatakan suatu budaya
yang negatif, namun karena budaya adalah hasil cipta karsa manusia yang
dilegalisasi oleh penerimaan masyarakat, maka masih tetap terbuka peluang untuk
menciptakan budaya baru dan menghapus budaya lama yang telah merusak
sendi-sendi negara.
Berjalannya korupsi kolektif dalam lembaga negara dapat
diputus dengan persatuan tekad dan semangat untuk mengedepankan cita-cita
bangsa dan berani menolak untuk melakukan korupsi walaupun akhirnya akan
dikucilkan dari kelompoknya.
Keberanian pemerintah yang memberi contoh dan mengambil
tindakan tegas terhadap siapapun pelaku korupsi akan mempengaruhi poal [ikir
masyarakat dan menjadikan ini hal baru, budaya baru bangsa untuk berani menolak
korupsi.
Penerapan UU Korupsi yang tegas akan membangun sikap pro
aktif masyarakat dan mengembalikan kepercayaan rakyat akan wakil mereka dan
otomatis akan mempengaruhi cara pikir dan budaya yang terus menerus akan
diturunkan kepada anak cucunya.
Daftar pustaka
http://anything-go-anything.blogspot.com/2012/10/peran-sosiologi-dalam-memberantas.html
Soerjono
Soekanto,dkk, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta,
1987
Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar