Rabu, 25 Maret 2015

HUBUNGAN BUDAYA DAN NORMA SOSIAL TERHADAP TINDAKAN KORUPSI ALAT PERLENGKAPAN NEGARA/ Sosiologi hukum/19 Mei 2014

SOSIOLOGI HUKUM

HUBUNGAN BUDAYA DAN NORMA SOSIAL TERHADAP TINDAKAN KORUPSI ALAT PERLENGKAPAN NEGARA
                                       
Description: Description: Description: Description: Description: https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTJRGWHEdjc9y9WUf2s43Yn41vQCLvuq08GxFlT-ddQ6QbVfVFw














Dosen Pengampu: Dr. Anis Farida SE., SH., MH.,


Oleh:
Afiyah                                     : 13300004
Ketut octania Fineta Diarsa    : 13300011
Lailatul Maghfirah                  : 13300012
Steven Frado Anggara                        : 13300013
Sendi Ariyanto                        : 13300016
Muhammad Sahri Ramadhan  : 13300047






KELAS A
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2014
BAB I
PENDAHULUAN


Menurut studi Transparency International tahun 2013, Indonesia berada di  peringkat 114 dari 177 negara dunia dalam hal negara dengan kasus korupsi terbanyak. Korupsi ini seolah sudah melekat dan menjadi budaya bahkan seolah sudah menjadi sebuah’profesi’ di negara ini. Banyak kasus korupsi yang justru dilakukan oleh wakil rakyat yang seharusnya mewakili suara rakyat. Rakyat seolah belajar melalui pengamatan dan pengalaman selama ini, bahwa wakil mereka di pemerintahan mempunyai kecenderungan untuk melakukan korupsi setelah mempunyai jabatan dan kesempatan di pemerintahan. Ditambah dengan kenyataan bahwa pemerintah seolah tidak mempunyai ‘power’ untuk membereskan masalah korupsi ini. Tentunya anggapan ini membuat persepsi negatif terhadap wakil rakyat dan pemerintah, dimana persepsi ini tidak dapat digeneralisasikan.
Satu dekade ini telah ada keberanian dan tindakan nyata pemerintah yang dilaksanakan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk mengungkap kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara.
            Satu kasus yang layak diangkat atas ketegasan pemerintah adalah kasus Angie berdasarkan laporan Merdeka.com, dimana Mahkamah Agung memperberat hukuman Angelina Patricia Pingkan Sondakh menjadi 12 tahun penjara. Padahal sebelumnya, di Pengadilan Tipikor Angie hanya divonis 4 tahun 6 bulan, begitu pun di Pengadilan Tinggi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, mengapresiasi putusan yang diputus majelis hakim Hakim Artidjo Alkostar, MS Lumme dan Mohammad Askin. Menurutnya, penambahan masa tahanan itu cukup memberikan efek jera.
Gubernur Aceh non-aktif Abdullah Puteh, yang menjadi terdakwa kasus pembelian helikopter Mi-2 Rostov buatan Rusia, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam persidangan Senin (11/4). Putusan yang diambil kendati Puteh tidak hadir dalam persidangan ini dua tahun lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Selain hukuman 10 tahun penjara, Puteh juga diharuskan membayar denda Rp 500 juta dan hukuman subsider enam bulan penjara.
Menurut majelis hakim yang terdiri dari Kresna Menon (Ketua), Dudu Duswara, Ahmad Linoh, I Made Hendra Kusuma dan Gus Rizal (hakim anggota), Abdullah Puteh secara sah dan meyakinkan telah bersalah sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Puteh juga bersalah karena telah melakukan penunjukan langsung perusahaan pengadaan heli tanpa tender. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Keputusan Presiden No 18 tahun 2000. Dalam Keppres itu, Penunjukan Langsung bisa dilakukan jika untuk pengdaaan barang dengan harga di atas Rp 50 miliar. Itu pun, yang melakukan pengadaan barang adalah kepala kantor atau pihak setara yang ditunjuk, bukan gubernur atau kepala daerah.
Selain bersalah karena melakukan PL, mantan ketua KNPI itu juga diputuskan bersalah karena memindahkan dana dari APBD ke rekening pribadi senilai Rp 7,75 miliar. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Peraturan Pemerintah No 105 tahun 2000 mengenai pengelolaan keuangan daerah. Majelis hakim menilai, tindakan ini adalah untuk memperkaya diri. Dalam persidangan yang tidak dihadiri terdakwa itu, majelis hakim juga memutuskan, alasan pengadaan heli dalam kondisi darurat dan mendesak, tidak terpenuhi. Pasalnya, kata majelis hakim, pengadaan heli berlangsung lama dari tanggal 25 Agustus 2001 hingga 23 Februari 2004. Alasan lainnya, mendesak tidaknya sesuatu hal dalam penyelenggaraan pemerintahan, harus ditentukan oleh pemerintah pusat, bukan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, tidak terpenuhinya unsur mendesak dalam kasus ini, karena DPRD Aceh sendiri menunda-nunda pemberina izin prinsip pengadaan heli ini. Di persidangan ini juga terungkap, bahwa Abdullah Puteh telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Pasalnya, dari bukti-bukti yang dihadirkan ke pengadilan, dana yang diterima perusahaan Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sebesar Rp 10,875 miliar. Namun, berdasarkan bukti transfer bank dari PPM ke perusahaan penyedia heli di Rusia, terungkap PPM hanya mentransfer Rp 6,4 miliar. Akibatnya, masih tersisa dana sebesar Rp 3,6875 miliar pada PT PPM.
Kasus korupsi salah satunya seperti yang terjadi di atas, yang dilakukan alat perlengkapan negara  dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung korupsi lambat laun menjadi sebuah budaya. Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara Indonesia.
Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau. ”2 Sifat partai politik di Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan strategis sebagai donasi terhadap partai.
Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah merumuskan UU Anti Korupsi yang terdiri dari empat unsur penting, yaitu unsur  penyalahgunaan wewenang, unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi, unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum. Dimana dalam aliran sociological jurisprudence menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dalam penegakan hukum hendaknya selain memperhatikan aspek hukumnya juga melihat aspek sosial, sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat bagi orang banyak.
Alasa ini membuat korupsi diaanggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena yang melakukan kejahatan korupsi adalah segolongan orang-orang tertentu tetapi dampaknya besar dan merugikan orang banyak. Fenomena korupsi telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan belaskasih di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan manusia Indonesia yang easy going, apatisme terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk korupsi.
Kenyataan bahwa dalam penegakan hukum hendaknya pula memperhatikan aspek sosial maka kasus korupsi ini dianggap menarik untuk dipotret dari kacamata sosiologi hukum

  


BAB II
PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diungkapkan di bab sebelumnya maka dapat ditarik suatu perumusan masalah yang akan dianalisa selanjutnya, sebagai berikut:
1.      Faktor penyebab terjadinya korupsi secara kolektif yang dilakukan alat perlengkapan Negara
2.      Hubungan antara faktor kebudayaan dengan korupsi
3.      Pencegahan dan pemberantasan korupsi
4.      Hubungan Supremasi UU Korupsi dan norma sosial masyarakat terhadap pelaku korupsi





BAB III
KERANGKA TEORITIK

A.      Definisi Korupsi
I.       Pengertian Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan  kepada mereka.         
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.

Dari segi hukum korupsi mempunyai arti ;
a.       Melawan hukum
b.      Menyakahgunakan kekuasaan
c.       Memperkaya diri
d.      Merugikan keuangan Negara Menurut perspektif hukum

pengertian korupsi secara gambling dijelaskan dalam UU No 31 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana.
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
1.      Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2.      Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3.      Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Normatif
Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001,maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.
Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
·         Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
·         Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau dapat merugikan keuangan Negara,atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
·         Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
·         Percobaan pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·         Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·         Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001)
·          Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
·         Pemborong,ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·         Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·         Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·         Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional indpnesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
·         Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yyang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,dengan sengaja menggelapkan uang atau mebiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·         Pegawai negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu,dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
·         Pegawai negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan menghancurkan,merusakkan,atau mebuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya atau membiarkan orang lain menghilangkan,menghancurkan,merusakkan,attau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·          Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang :
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal 12 e undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
Pada waktu menjalankan tugas meminta,menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai hutang kepadanya.padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mrupakan hutang (huruf f) Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seplah-olah merupakan hutang pada dirinya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (huruf g)
Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang berhak,apadahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
·         Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).

Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :
·         Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
·         Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun 2001)
·         Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia, atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
·         Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
·         Hakim yang enerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
·         Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
·         Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20  tahun 2001).

Adapun pengertian lain tentang korupsi dirumuskan olehRobert Klitgaard. Klitgaard merumuskan bahwa korupsi terjadi karena kekuasaan dan kewenangan tidak diimbangi dengan akuntabilitas (pertanggung jawaban), sehingga dapat dirumuskan:   C = M + D – A
Corruption = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas

II.      Jenis Korupsi
Ketua KPK membedakan korupsi atas dua jenis, korupsi karena kebutuhan     ( need corruption ) dan korupsi karena kerakusan ( greedy corruption ). Korupsi yang pertama terjadi terutama karena sistem yang kurang baik, misalnya, sistem pegawai negeri sipil (PNS), terutama sistem penggajian pegawai negeri sipil yang sangat rendah. Korupsi ini diberantas dengan tindakan perbaikan sistem PNS itu sendiri.
Sementara, korupsi golongan kedua lebih banyak disebabkan karena ketamakan dan mental yang rusak. Ini harus diperbaiki dengan upaya penindakan, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Kemudian korupsi dibagi menjadi tujuh macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif, otogenik dan dukungan.
1.      Korupsi transaktif
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2.      Korupsi yang memeras
Pemerasan adalah korupsi dimana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingan atau sesuatu yang mengancamnya.
3.      Korupsi Defensif
Orang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemersan jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri)
4.      Korupsi Investif
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih di angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh  dimasa mendatang.
5.      Korupsi Perkerabatan atau Nepotisme
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah kepada sanak keluarga atau teman dekat untuk mendapatkan jabatan dalam pemerintahan, imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya
6.      Korupsi Otogenik
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain,dan pelakunya hanya satu orang saja
7.      Korupsi Dukungan
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.

III.    Penyebab terjadinya korupsi
Menurut Boni Hargen, yang membagi penyebab terjadinya korupsi menjadi tiga wilayah yaitu :
1.      Wilayah Individu, dikenal sebagai aspek manusia yang menyangkut moralitas personal serta kondisi situasional seperti peluang terjadinya korupsi termasuk di dalamnya adalah faktor kemiskinan.
2.      Wilayah Sistem, dikenal sebagai aspek institusi/administrasi. Korupsi dianggap sebagai konsekuensi dari kerja sistem yang tidak efektif. Mekanisme kontrol yang lemah dan kerapuhan sebuah sistem member peluang terjadinya korupsi.
3.      Wilayah Irisan antara Individu dan Sistem, dikenal dengan aspek sosial budaya, yang meliputi hubungan antara politisi, unsur pemerintah dan organisasi non pemerintah. Selain itu meliputi juga kultur masyarakat yang cenderung permisif dan kurang perduli dengan hal-hal yang tidak terpuji. Di samping itu terjadinya pergeseran nilai, logika, sosial, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat.  
Menurut Soejono Karni, beberapa dampak korupsi adalah rusaknya sistem tatanan masyarakat; ekonomi biaya tinggi dan sulit melakukan efisiensi; munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat; penderitaan sebagian besar masyarakat di sektor ekonomi, administrasi, politik maupun hukum; yang pada akhirnya menimbulkan sikap frustasi, ketidakpercayaan, apatis terhadap pemerintah yang berdampak kontraproduktif terhadap pembangunan.

IV.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor.Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga;faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Sehingga agar hukum tersebut berjalan efektif yang harus dilihat adalah hukum itu sendiri, dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Menurut Friedman dalam Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut:
a.       Faktor Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang ada dalam sistem. Substansi juga berarti produk yang berupa keputusan atau aturan (peraturan perundang-undangan) yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem tersebut.
b.      Faktor Struktur Hukum
Struktur hukum meliputi: struktur institusi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) termasuk aparat-aparatnya (polisi, jaksa, dan hakim), dan hierarki lembaga peradilan yang bermuara pada Mahkamah Agung.
c.       Faktor Budaya Hukum
Kebudayaan Hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsep abstrak mengenai apa yang baik dan buruk. Faktor ini sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat. Anggapan masyarakat bahwa hukum identik dengan penegak hukum mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peran penegak hukum menjadi semakin bias. Kegagalan dalam penegakan hukum akan selalu dikembalikan dan senantiasa dikaitkan dengan pola dan perilaku penegak hukum yang merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.

Sedangkan menurut Soekanto dan Abdullah, faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap hukum, antara lain sebagai berikut:
a.    Faktor penyesuaian diri terhadap kaedah-kaedah hukum. Dalam hal ini seseorang patuh terhadap hukum karena ingin mengharapkan suatu  imbalan tertentu atau sebagai usaha untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan terkena sanksi apabila norma tersebut dilanggar.
b.    Faktor identifikasi, artinya seseorang mematuhi hukum bukan karena nilai yang sesungguhnya dari kaedah hukum tersebut, akan tetapi karena ingin memelihara hubungan dengan orang lain yang sekelompok atau dengan pimpinan kelompok lain.
c.    Faktor kepentingan, artinya bahwa seseorang mematuhi hukum karena merasa bahwa kepentingan-kepentingannya telah terpenuhi atau setidak-tidaknya terlindungi oleh hukum.
d.   Faktor penjiwaan, artinya bahwa seseorang mematuhi hukum karena kaedah hukum tersebut ternyata sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan warga masyarakat. Orang yang berada pada faktor ini mematuhi hukum karena memang orang tersebut mengerti bahwa dalam mengatur kehidupan diperlukan seperangkat kaedah yang menjadi pedoman dalam mengatur kehidupannya, sehingga orang tersebut menjiwai dan menempatkan hukum dalam posisi yang penting dalam kehidupannya.

B.     Definisi Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 
Sebagai akibat perkembangan dan struktur feodalisme pada jaman kependudukan Belanda di Indonesia, maka kejahatan yang timbul di antara penguasa adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan kebodohan penduduk. Ketika itu, penghasilan dari para Bupati dan pimpinan feodal lainnya dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitu:
1.      Gaji tetap bulanan.
2.      Sejumlah uang yang tetap untuk ganti kerugian akibat hak-hak yang beralih kepada pemerintahan Belanda.
3.      Upah yang seimbang dengan hasil ekspor yang dihasilkan dalam daerahnya.
4.      Penghasilan yang dia tentukan sendiri besarnya dari penghisapan harta benda dan tenaga dari rakyat.
Kebiasaan yang kemudian menjadi budaya untuk menyenangkan hati atasannya tercermin dalam praktek gratifikasi pemberian upeti atau persembahan dari bawahan kepada atasan atau dari hamba kepada tuannya tersebut memang sudah menjadi suatu budaya yang sampai saat ini hal itu masih terus terjadi di negara yang sudah lebih modern dan dengan sistem birokrasi yang lebih modern juga.


C.    UU Korupsi
Di Indonesia telah ada, undang-undang tentang tindak pidana korupsi yang sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan, yakni :
1.      Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2.      Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3.      Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4.      Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
      Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
 Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1.      Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2.      Pidana Penjara
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
a.       Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
b.      Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
c.       Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
Pidana Tambahan
1.      Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
2.      Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3.      Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
4.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
5.      Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
6.      Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1.      Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2.      Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3.      Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
4.      Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
5.      Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
 Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
1.      Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2.      Perbuatan melawan hukum;
3.      Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
4.      Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.





BAB IV
ANALISA

Budaya, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tindak pidana korupsi. Sehingga  ada pihak yang mengatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya dan sebaliknya. Namun perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda pula. Korupsi bisa di lihat sebagai sebuah kebudayaan jika kebudayaan memiliki diartikan sebagai sebuah tingkah laku yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok yang besar seperti seperti bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, korupsi di satu pihak bukanlah sebuah kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan.
Hal ini karena pengaruh jaman feodalisme dan anggapan memberi untuk menyenangkan atasan adalah hal biasa. Terlukis seperti jaman kerajaan dengan adanya pemberian upeti. Selain itu prinsip yang dipegang para alat negara adalah menjabat untuk kemudian mengembalikan semua ‘modal’ saat berkampanye serta menjadi donatur bagi Partainya seolah dilegitimasi oleh keadaan sistem budaya.
Sesuai dengan pendapat Koenjtoroningrat tentang kebudayaan maka budaya ini merupakan hasil kreasi manusia yang akhirnya memunculkan karya dan terus akan dievaluasi oleh perkembangan waktu dan pengetahuan. Hal inilah yang belum dilakukan oleh bangsa ini untuk merubah hasil kreasinya yang bernilai negatif yaitu korupsi.
Berkembang luasnya praktik korupsi di alat perlengkapan negara dikarenakan adanya kekuasaan dan kesempatan serta kesepakatan bersama, yang melahirkan korupsi kolektif. Dalam sebuah lembaga yang sudah membudaya praktek korupsinya dan terdapat satu orang yang menolak melakukannya maka dia akan dianggap yang salah dan akan dikucilkan dari kelompoknya.
Tindakan ini dilar belakangi berbagai penyebab diantaranya  adalah:
a.       Kelemahan pemimpin untuk mencegah dan memberikan ketauladanan yang baik.   b. Kelemahan pengajaran agama dan etika. c. Budaya kolonialisme yang mendarah daging dan terpatri dalam benak dan perilaku masyarakat kita. Budaya kolonial yang cenderung mempraktikkan hegemoni dan dominasi, menjadikan orang Indonesia juga tega menindas bangsanya sendiri lewat perilaku korupsi.
b.      Tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan memberatkan. Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. e. Struktur pemerintahan yang justru menumbuhkan lingkungan subur untuk korupsi. Birokrasi yang sentralistik dan banyak menterderkan proyek pembangunan.

Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, perlu dilakukan beberapa pencegahannya:
1.      Menegakkan hukum secara konsisten sesuai peraturan perundang-undangannya.
2.      Memperbaiki birokrasi yang efisien
3.      Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
4.      Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga tidak ada kesempatan untuk korupsi.
5.       Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.

Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi  Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah: “terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi “terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat sipil, hingga dunia usaha. Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang 6 strategi yaitu :
Pencegahan. Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
Penegakan Hukum. Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum. Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada negara-negara lain. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor. Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan  perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik. Pendidikan dan Budaya Antikorupsi. Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.
Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi. Strategi yang mengedepankan  penguatan mekanisme di internal Kementerian/Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/informasi terkait progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik elektronik maupun cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK. Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para pemangku kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta. Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara  berkesinambungan dan tepat sasara
Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan antara lain:
1.      Menegakkan hukum secara konsisten sesuai peraturan perundang-undangannya.
2.      Memperbaiki birokrasi yang efisien
3.      Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
4.      Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga tidak ada kesempatan untuk korupsi.
5.       Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.


KESIMPULAN

            Bukanlah suatu hal yang mudah untuk merubah suatu tindakan yang dapat dikatakan mempunyai faktor budaya, dibutuhkan suatu kekuatan dan kerjasama yang menyeluruh dan keinginan untuk berubah. Korupsi dapat dikatakan suatu budaya yang negatif, namun karena budaya adalah hasil cipta karsa manusia yang dilegalisasi oleh penerimaan masyarakat, maka masih tetap terbuka peluang untuk menciptakan budaya baru dan menghapus budaya lama yang telah merusak sendi-sendi negara.
            Berjalannya korupsi kolektif dalam lembaga negara dapat diputus dengan persatuan tekad dan semangat untuk mengedepankan cita-cita bangsa dan berani menolak untuk melakukan korupsi walaupun akhirnya akan dikucilkan dari kelompoknya.
            Keberanian pemerintah yang memberi contoh dan mengambil tindakan tegas terhadap siapapun pelaku korupsi akan mempengaruhi poal [ikir masyarakat dan menjadikan ini hal baru, budaya baru bangsa untuk berani menolak korupsi.
            Penerapan UU Korupsi yang tegas akan membangun sikap pro aktif masyarakat dan mengembalikan kepercayaan rakyat akan wakil mereka dan otomatis akan mempengaruhi cara pikir dan budaya yang terus menerus akan diturunkan kepada anak cucunya.



Daftar pustaka

http://anything-go-anything.blogspot.com/2012/10/peran-sosiologi-dalam-memberantas.html
Soerjono Soekanto,dkk, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1987
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi